Sabtu, 07 Juni 2014

Kebijakan Pemerintah dalam mengatasi defisit neraca transaksi berjalan


Kebijakan Pemerintah dalam mengatasi defisit neraca transaksi berjalan

Sejak tahun 1960 an untuk pertama kalinya pada kuartal kedua tahun 2013 Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan. Defisit neraca perdagangan pada kuartal kedua tahun 2013 sebesar USD 709 juta, meskipun pada kuartal ketiga 2013 trade balance sudah menunjukan trend positif namun masih dalam posisi yang cukup rentan. Kondisi ini tentunya perlu mendapatkan perhatian serius dari seluruh stakeholder karena jika tidak segera ditangani akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi perekonomian secara keseluruhan. Trade defisit terjadi karena pada suatu periode tertentu nilai impor lebih besar dari nilai ekspor, dengan demikian untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan melalui upaya pengendalian impor dan peningkatan ekspor. Salah satu upaya yang dilaksanakan pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut, adalah melalui kebijakan pendapatan negara.

Dalam rangka pengendalian impor, dalam prespektif jangka pendek menengah, pemerintah antara lain telah mengeluarkan kebijakan peningkatan tarif PPh Pasal 22 impor untuk barang tertentu dari 2,5% menjadi 7,5%. Tujuan kebijakan ini adalah untuk membantu mengurangi defisit neraca perdagangan yaitu dengan cara mengendalikan impor barang. Barang-barang tertentu yang dipilih diharapkan tidak mengganggu kebutuhan impor bagi industri dalam negeri, dalam hal ini karena barang-barang tersebut adalah barang konsumsi akhir, bukan barang bahan baku/penolong dan juga dipilih yang mempunyai dampak kecil terhadap pembentukan inflasi. Sebagai contoh makanan tidak dipilih sebagai barang yang dinaikan PPh 22 impornya. Lebih lanjut, kenaikan PPh Pasal 22 pada dasarnya tidak akan menambah beban pajak atau PPh terutang pengusaha, tetapi hanya akan berdampak kepada cash flow perusahaan, karena PPh Pasal 22 yang dibayar merupakan pembayaran pajak dimuka sehingga dapat dikurangkan dari pajak penghasilan terutang pada akhir tahun. Namun demikian, dengan meningkatnya beban cash flow, maka perusahaan atau pengusaha akan menyesuaikan volume pemberian barang yang akan diimpor dengan kemampuan cash flownya. Dan pada akhirnya diharapkan impor secara keseluruhan dapat dikendalikan. Selain itu, pemerintah juga segera akan mengeluarkan kebijakan peningkatan tarif PPnBM barang mewah yaitu kendaraan bermotor mewah. Kebijakan ini pada dasarnya diluncurkan untuk mengendalikan konsumsi masyarakat terhadap barang-barang mewah dan dampak lanjutannnya adalah mengendalikan impor karena barang-barang mewah tersebut sebagian besar merupakan barang yang belum diproduksi di dalam negeri.

Sementara itu, dalam perspektif jangka menengah-panjang, untuk mengendalikan impor, disisi kebijakan pendapatan negara, pemerintah memberikan fasilitas tax allowance bagi industri tertentu serta daerah tertentu dan tax holiday bagi industri pioner. Kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu untuk melakukan perubahan struktural (structural change) industri dalam negeri yaitu dengan memilih industri dalam negeri yang menghasilkan produk bahan baku penolong yang selama ini masih diimpor (import-substituion intermediate goods) sebagai industri yang diprioritaskan berhak mendapatkan kedua fasilitas ini. Peningkatan jumlah industri yang menghasilkan import-substituion intermediate goods diharapkan dapat membantu pengendalian defisit neraca perdagangan. Hal ini terutama karena dalam beberapa tahun terakhir kurang lebih 70 persen dari total impor adalah impor atas bahan baku/penolong. Dengan demikian, apabila produk yang selama ini diimpor dapat dihasilkan atau disubstitusi oleh industri dalam negeri maka impor akan terkendali. Lebih dari itu, hal ini akan mengurangi ketergantungan industri dalam negeri akan bahan baku impor.

Di sisi lain, untuk ikut mendorong peningkatan ekspor, kebijakan pendapatan negara yang dilaksanakan antara lain adalah dengan mempermudah aturan terkait fasilitas Kemudahan Impor untuk Tujuan Ekspor (KITE). KITE merupakan kebijakan pembebasan Bea Masuk bahan baku/penolong bagi perusahaan KITE selama bahan tersebut digunakan untuk menghasilkan produk yang di ekspor. Relaksasi atau tambahan kemudahan dalam kerangka KITE adalah PPN atas barang yang di impor untuk diolah menjadi barang yang diekspor tidak dipungut, dimana jika dalam aturan sebelumnya perusahaan harus membayar terlebih dahulu PPN impor nya baru kemudian dapat direstitusi jika dilakukan ekspor, saat ini dipermudah bahwa perusahaan KITE tidak perlu membayar PPN impor atas barang yang diimpor selama digunakan untuk menghasilkan barang yang di ekspor, dalam hal ini mengurangi beban administrasi.

Dalam perspektif jangka menengah panjang, selain untuk mendorong tumbuhnya industri yang menghasilkan bahan baku/penolong, salah satu fasilitas yang diberikan dalam kerangka tax allowance adalah memberikan tambahan perpanjangan pembebanan kerugian selama 2 tahun bagi perusahaan yang memenuhi syarat mendapatkan tax allowance yang mengekspor minimal 30 persen dari total produksinya dalam satu tahun. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya industri yang berorientasi ekspor.

Secara umum , kebijakan pendapatan negara baik dalam perspektif jangka pendek, menengah maupun panjang telah mengarah pada upaya ikut memperbaiki kondisi neraca transaksi berjalan khususnya neraca perdagangan. Namun demikian, berdasarkan survey persepsi yang telah banyak dilakukan membuktikan bahwa permasalahan perpajakan atau kebijakan pendapatan negara di Indonesia bukan merupakan faktor utama yang mendorong pelaku usaha untuk melakukan investasi atau mengembangkan usahanya. Dengan demikian, kebijakan pendapatan negara saja, tidak akan cukup untuk mengatasi defisit transkasi berjalan jika tanpa dukungan dari stakeholder terkait secara keseluruhan.

Defisit neraca perdagangan pada April 2014 menorehkan begitu banyak "catatan pinggir" bagi perjalanan bangsa ini yang sedang larut dalam euforia tahapan pemilihan presiden (pilpres). Catatan pertama, fundamental industri nasional masih rapuh dan timpang. Buktinya, impor pada April 2014 didominasi golongan barang mesin dan peralatan mekanik.

Tingginya impor barang modal (peralatan untuk proses produksi) menunjukkan bahwa industri manufaktur Indonesia belum mandiri. Selama masih mengimpor barang modal dalam jumlah besar, selama itu pula defisit neraca perdagangan terus mengancam. Padahal, konsumsi domestik akan terus membesar sejalan dengan bertambahnya populasi. Ke depan, Indonesia harus membangun industri barang modal dan industri dasar yang tangguh.

Catatan kedua, Indonesia gagal membaca tren perdagangan dunia dan tidak mampu membenahi karut-marut struktur ekspor nasional. Sejak krisis melanda perekonomian global dua tahun silam, bahkan sejak krisis finansial global 2008-2009, pemerintah seharusnya sudah mengubah orientasi pasar dan produk ekspor.

Dalam kondisi perekonomian dunia yang sulit ditebak, pemerintah dituntut lebih inovatif. Jika selama ini ekspor ditujukan ke AS, Eropa, dan Jepang, sudah saatnya kita menjadikan Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, dan Asia sebagai tujuan utama ekspor nasional. Indonesia juga sudah harus mengubah orientasi ekspor dari komoditas sumber daya alam ke produk hasil olahan bernilai tambah tinggi.

Mendiversifikasi pasar dan produk ekspor berarti mengurangi risiko saat terjadi krisis ekonomi yang kerap memukul negara-negara maju. Mengubah orientasi ekspor ke produk bernilai tambah tinggi berarti memperkokoh industri manufaktur domestik, menyerap lebih banyak tenaga kerja, memutar roda ekonomi lebih kencang, dan mengurangi jumlah penduduk miskin secara masif.

Catatan ketiga, pemerintah harus segera mencabut atau setidaknya memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM). Sudah lama pemerintah diingatkan agar berani menaikkan harga BBM bersubsidI serta mengalihkan dana subsidi untuk membiayai program pengentasan kemiskinan dan mendanai pembangunan proyek infrastruktur publik. Subsidi BBM adalah duri dalam daging perekonomian nasional. Besarnya subsidi membuat impor minyak mentah dan BBM terus membesar, mengingat konsumsi BBM di dalam negeri meningkat terus.

Sumber :