Kebijakan Pemerintah dalam mengatasi defisit neraca transaksi berjalan
Sejak tahun 1960 an untuk pertama kalinya pada
kuartal kedua tahun 2013 Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan.
Defisit neraca perdagangan pada kuartal kedua tahun 2013 sebesar USD 709 juta,
meskipun pada kuartal ketiga 2013 trade balance sudah menunjukan trend positif
namun masih dalam posisi yang cukup rentan. Kondisi ini tentunya perlu mendapatkan
perhatian serius dari seluruh stakeholder karena jika tidak segera ditangani
akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi perekonomian secara
keseluruhan. Trade defisit terjadi karena pada suatu periode tertentu nilai
impor lebih besar dari nilai ekspor, dengan demikian untuk mengatasi hal ini
perlu dilakukan melalui upaya pengendalian impor dan peningkatan ekspor. Salah
satu upaya yang dilaksanakan pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut, adalah
melalui kebijakan pendapatan negara.
Dalam rangka pengendalian impor, dalam
prespektif jangka pendek menengah, pemerintah antara lain telah mengeluarkan
kebijakan peningkatan tarif PPh Pasal 22 impor untuk barang tertentu dari 2,5% menjadi
7,5%. Tujuan kebijakan ini adalah untuk membantu mengurangi defisit neraca
perdagangan yaitu dengan cara mengendalikan impor barang. Barang-barang tertentu
yang dipilih diharapkan tidak mengganggu kebutuhan impor bagi industri dalam
negeri, dalam hal ini karena barang-barang tersebut adalah barang konsumsi
akhir, bukan barang bahan baku/penolong dan juga dipilih yang mempunyai dampak
kecil terhadap pembentukan inflasi. Sebagai contoh makanan tidak dipilih
sebagai barang yang dinaikan PPh 22 impornya. Lebih lanjut, kenaikan PPh Pasal
22 pada dasarnya tidak akan menambah beban pajak atau PPh terutang pengusaha,
tetapi hanya akan berdampak kepada cash flow perusahaan, karena PPh Pasal 22
yang dibayar merupakan pembayaran pajak dimuka sehingga dapat dikurangkan dari pajak
penghasilan terutang pada akhir tahun. Namun demikian, dengan meningkatnya
beban cash flow, maka perusahaan atau pengusaha akan menyesuaikan volume
pemberian barang yang akan diimpor dengan kemampuan cash flownya. Dan pada
akhirnya diharapkan impor secara keseluruhan dapat dikendalikan. Selain itu,
pemerintah juga segera akan mengeluarkan kebijakan peningkatan tarif PPnBM
barang mewah yaitu kendaraan bermotor mewah. Kebijakan ini pada dasarnya
diluncurkan untuk mengendalikan konsumsi masyarakat terhadap barang-barang mewah
dan dampak lanjutannnya adalah mengendalikan impor karena barang-barang mewah tersebut
sebagian besar merupakan barang yang belum diproduksi di dalam negeri.
Sementara itu, dalam perspektif jangka
menengah-panjang, untuk mengendalikan impor, disisi kebijakan pendapatan
negara, pemerintah memberikan fasilitas tax allowance bagi industri tertentu
serta daerah tertentu dan tax holiday bagi industri pioner. Kebijakan tersebut diharapkan
dapat membantu untuk melakukan perubahan struktural (structural change)
industri dalam negeri yaitu dengan memilih industri dalam negeri yang
menghasilkan produk bahan baku penolong yang selama ini masih diimpor
(import-substituion intermediate goods) sebagai industri yang diprioritaskan
berhak mendapatkan kedua fasilitas ini. Peningkatan jumlah industri yang menghasilkan import-substituion
intermediate goods diharapkan dapat membantu pengendalian defisit neraca
perdagangan. Hal ini terutama karena dalam beberapa tahun terakhir kurang lebih
70 persen dari total impor adalah impor atas bahan baku/penolong. Dengan demikian,
apabila produk yang selama ini diimpor dapat dihasilkan atau disubstitusi oleh industri
dalam negeri maka impor akan terkendali. Lebih dari itu, hal ini akan
mengurangi ketergantungan industri dalam negeri akan bahan baku impor.
Di sisi lain, untuk ikut mendorong
peningkatan ekspor, kebijakan pendapatan negara yang dilaksanakan antara lain
adalah dengan mempermudah aturan terkait fasilitas Kemudahan Impor untuk Tujuan
Ekspor (KITE). KITE merupakan kebijakan pembebasan Bea Masuk bahan baku/penolong
bagi perusahaan KITE selama bahan tersebut digunakan untuk menghasilkan produk
yang di ekspor. Relaksasi atau tambahan kemudahan dalam kerangka KITE adalah
PPN atas barang yang di impor untuk diolah menjadi barang yang diekspor tidak
dipungut, dimana jika dalam aturan sebelumnya perusahaan harus membayar
terlebih dahulu PPN impor nya baru kemudian dapat direstitusi jika dilakukan
ekspor, saat ini dipermudah bahwa perusahaan KITE tidak perlu membayar PPN
impor atas barang yang diimpor selama digunakan untuk menghasilkan barang yang
di ekspor, dalam hal ini mengurangi beban administrasi.
Dalam perspektif jangka menengah panjang,
selain untuk mendorong tumbuhnya industri yang menghasilkan bahan
baku/penolong, salah satu fasilitas yang diberikan dalam kerangka tax allowance
adalah memberikan tambahan perpanjangan pembebanan kerugian selama 2 tahun bagi
perusahaan yang memenuhi syarat mendapatkan tax allowance yang mengekspor
minimal 30 persen dari total produksinya dalam satu tahun. Kebijakan ini
diharapkan dapat mendorong tumbuhnya industri yang berorientasi ekspor.
Secara umum , kebijakan pendapatan negara
baik dalam perspektif jangka pendek, menengah maupun panjang telah mengarah
pada upaya ikut memperbaiki kondisi neraca transaksi berjalan khususnya neraca
perdagangan. Namun demikian, berdasarkan survey persepsi yang telah banyak
dilakukan membuktikan bahwa permasalahan perpajakan atau kebijakan pendapatan
negara di Indonesia bukan merupakan faktor utama yang mendorong pelaku usaha untuk
melakukan investasi atau mengembangkan usahanya. Dengan demikian, kebijakan pendapatan
negara saja, tidak akan cukup untuk mengatasi defisit transkasi berjalan jika
tanpa dukungan dari stakeholder terkait secara keseluruhan.
Defisit neraca
perdagangan pada April 2014 menorehkan begitu banyak "catatan
pinggir" bagi perjalanan bangsa ini yang sedang larut dalam euforia
tahapan pemilihan presiden (pilpres). Catatan pertama, fundamental
industri nasional masih rapuh dan timpang. Buktinya, impor pada April 2014
didominasi golongan barang mesin dan peralatan mekanik.
Tingginya impor
barang modal (peralatan untuk proses produksi) menunjukkan bahwa industri
manufaktur Indonesia belum mandiri. Selama masih mengimpor barang modal dalam
jumlah besar, selama itu pula defisit neraca perdagangan terus mengancam.
Padahal, konsumsi domestik akan terus membesar sejalan dengan bertambahnya
populasi. Ke depan, Indonesia harus membangun industri barang modal dan
industri dasar yang tangguh.
Catatan kedua,
Indonesia gagal membaca tren perdagangan dunia dan tidak mampu membenahi
karut-marut struktur ekspor nasional. Sejak krisis melanda perekonomian global
dua tahun silam, bahkan sejak krisis finansial global 2008-2009, pemerintah
seharusnya sudah mengubah orientasi pasar dan produk ekspor.
Dalam kondisi
perekonomian dunia yang sulit ditebak, pemerintah dituntut lebih inovatif. Jika
selama ini ekspor ditujukan ke AS, Eropa, dan Jepang, sudah saatnya kita
menjadikan Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, dan Asia sebagai tujuan utama
ekspor nasional. Indonesia juga sudah harus mengubah orientasi ekspor dari
komoditas sumber daya alam ke produk hasil olahan bernilai tambah tinggi.
Mendiversifikasi
pasar dan produk ekspor berarti mengurangi risiko saat terjadi krisis ekonomi
yang kerap memukul negara-negara maju. Mengubah orientasi ekspor ke produk
bernilai tambah tinggi berarti memperkokoh industri manufaktur domestik,
menyerap lebih banyak tenaga kerja, memutar roda ekonomi lebih kencang, dan
mengurangi jumlah penduduk miskin secara masif.
Catatan ketiga, pemerintah harus segera
mencabut atau setidaknya memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM). Sudah lama
pemerintah diingatkan agar berani menaikkan harga BBM bersubsidI serta
mengalihkan dana subsidi untuk membiayai program pengentasan kemiskinan dan
mendanai pembangunan proyek infrastruktur publik. Subsidi BBM adalah duri dalam
daging perekonomian nasional. Besarnya subsidi membuat impor minyak mentah dan
BBM terus membesar, mengingat konsumsi BBM di dalam negeri meningkat terus.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar